Sepekan terakhir ini dunia maya dan media sosial (fb, twitter) agak
dan masih ramai dengan reaksi atas pemberitaan sebuah media televisi swasta
(Metro TV) yang menyatakan bahwa salah
satu saluran tempat perekrutan “generasi muda teroris” adalah melalui program kegiatan
ektrakurikuler di masjid sekolah. Tak perlu kita tanya ekskul apakah itu,
kita pun sepakat berpikir apalagi ekskul yang pusatnya di masjid sekolah kalau
bukan rohis (kerohanian Islam). Berarti pendapat itu sama halnya dengan menuduh
bahwa rohis adalah tempat pengader teroris. Terkejut, tidak terima, “ itu tidak
benar”, mungkin itu reaksi pertama. Berbagai analisis, tanggapan dan gerakan sebagai
dukungan moral dalam rangka meluruskan mispersepsi ini pun muncul. Tidak perlu
saya ulas ulang kiranya Belum lagi bila kita mengikuti juga peristiwa dan
pemberitaan sebelumnya tentang pesantren yang juga tak kalah miris nasibnya:
disalah pandangi dan dicap oleh sebagian masyarakat sebagai “sarang teroris”. Semoga
anggapan saya salah ya,,kita kan masyarakat yang “melek teknologi”, cerdas dan
bijak menanggapi informasi, baik yang positif maupun negatif, bisa membedakan
mana informasi yang informatif dan mana yang tidak. Semoga.
Bila kita ingat peristiwa WTC 9/11,
di balik hantaman fitnah dan merebaknya Islamophobia
setelahnya hingga kini, ada sisi positif yang juga layak kita syukuri yaitu
semakin banyak warga Amerika dan negara barat lainnya yang tertarik belajar
Islam dan bahkan kemudian masuk Islam, jumlah muslim baru bertambah terus
setiap tahun. Lalu apa hubungannya dengan rohis dan mentoring? Mungkin ada yang
bertanya demikian. Nah kembali lagi, bisa jadi sisi positif dari disematkannya
stereotip rohis sebagai tempat pengader teroris adalah justru semakin besarnya
animo siswa muslim untuk aktif bergabung dalam kegiatan rohis dan kian
terbukanya sekolah untuk mengadakan kegiatan mentoring. Maka kelak dibutuhkan
pula tenaga mentor yang siap membina dengan serius. Pertanyaannya, jika kelak
memang dibutuhkan dan ada panggilan amanah menjadi mentor mampir pada diri,
siapkah kita? Jangan sampai nih, saat
banyak kecaman kita “ramai-ramai protes” tetapi saat sudah mendapat amanah,
diberi kepercayaan, justru kita lalai membina, menelantarkan binaan, adik-adik
menti kita. Ataukah jika ada tawaran dan panggilan: “Bro/Sist, Mas/Mbak,
Ukhti/Akhi, bisa tidak mengisi kelompok mentoring di SMA X?”, justru akan
ditolak dengan jawaban: “Sorry/maaf/‘afwan/ punten pisan,,gue/saya/ane sibuk banget
nih, yang lain dulu deh”. Sangat disayangkan bila semangat-ghiroh positif yang
menggebu dari adik-adik ini tidak tersalurkan dan dibina dengan baik. Gayung
tak bersambut, jauh panggang dari asap. Bukan hal yang tidak mungkin juga bila
nanti adik-adik kita ini menjadi “mangsa” dan sasaran kelompok “aliran nyleneh
bin ngaco” lain, yang tak perlu saya sebut di sini. Tentu bukan hal yang kita
ingin dan harapkan.
Di sisi lainnya, terkait dengan masalah
rohis tadi, justru menjadi bahan evaluasi juga bagi diri saya sendiri.
Alhamdulillah, meski hanya sedikit dan mungkin sebentar, saya pernah mengalami
rasanya menjadi mentor. Mendapat amanah sebagai mentor bagi saya adalah sebuah
anugerah sekaligus tanggung jawab yang tidak enteng. Saya pun pernah menjadi menti
(binaan mentor) saat mulai masuk dunia kampus (agak telat tapi tetap saya
syukuri), dan saya pun pernah melewati masa remaja, dari masih anak-anak putih
merah hingga abege putih biru dan
putih abu-abu, sama seperti mereka. Maka menjadi mentor bagi saya adalah
refleksi sekaligus praktik nyata berbagi kebaikan, berbagi indahnya ukhuwah,
berbagi indahnya kebersamaan, belajar lebih mengenal dan lebih mencintai din
ini. Sejenak mengenang jejak kebaikan para mentor saya terdahulu. Dari mereka
saya belajar bahwa menjadi mentor yang baik itu butuh perjuangan dan proses
tiada henti, belajar sabar dan tegar. Mentor yang baik idealnya mampu menjadi qudwah, teladan bagi mentinya.
Disiplin, tetapi juga penuh pengertian; dekat, hangat dan bersahabat dengan mentinya;
memahami seluk beluk dunia menti. Mentor
yang baik menghargai waktu, bahwa ketika seseorang telah berkenan berbagi
sebagian waktu untuk orang lain, maka sejatinya ia telah memberi sesuatu yg
takkan kembali, sehingga tak boleh disiakan. Mentor yang baik berwawasan luas,
mampu menghadirkan solusi atas permasalahan yang dihadapi menti; bukan sekadar
menggurui dan menghakimi. Mentor yang baik memiliki target yang jelas,
terencana dan terpaparkan dengan jelas sejak awal mentoring dimulai tentang apa
yang ingin dicapai bersama adik-adik menti, sehingga mentoring tidak hanya
sekadar pertemuan rutin yang tanpa ruh..giat di awal dan surut seiring waktu;
dan masih banyak lagi jejak kebaikan lain yang terekam dan membekas di
sanubari.
Ah...tiba-tiba ada rindu memusim dan seketika
menggugurkan kenangan yang menghujan1 di lubuk hati saya, rindu pada
adik-adik mantan menti dan adik-adik saya. Membayangkan wajah-wajah
mereka yang ceria, penuh gelora, tetapi kadang pula suntuk setelah sepanjang
hari berjibaku dengan bertumpuk tugas sekolah. Kini, sebagian dari mereka akan
UTS, tak lama lagi UAS, UN, SNMPTN dan seterusnya. Ujian, ujian dan ujian. Pun
begitu masih menyempatkan diri untuk mentoring, subhanallah walhamdulillah ya. Kemudian
banyak sekali pertanyaan muncul dalam benak: adakah saya dahulu mentor yang
baik bagi mereka ataukah sebaliknya, bukannya mentor tetapi dementor2?.
Adakah saya sudah cukup amanah selama menjadi mentor mereka ataukah sebaliknya,
meninggalkan kesan abai dan tak peduli terhadap mereka? Kapan terakhir kali
menyapa dan menanyakan kabar mereka? Kapan terakhir kali mendengar cerita
mereka? Seberapa jauh mengenal pribadi adik-adik? Seberapa mampu memahami dunia
mereka? Astaghfirullahal’adziim..rasanya masih jauh sekali dari kriteria
“mentor yang baik” apalagi “ideal”.
Maafkan...sungguh maafkan
saya..
Harapan saya, semoga
bila pun saya belum mampu menjadi mentor yang baik, tidak sampai menjadi
dementor. Aamiin. Mari bersama kita bentengi diri, keluarga, sahabat dan
adik-adik kita dari bahaya penyakit “sepilis” (sekulerisme, pluralisme dan
liberalisme). Salam ukhuwah, sepenuh cinta karenaNya.
Wallahua’lam,
wallahul musta’an.
Catatan kaki:
1. Terisnpirasi
oleh sajak Khrisna Pabichara
2. Dementor adalah
tokoh jahat pada seri novel Harry Potter, penghisap harapan dan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar