Minggu, 16 September 2012

Catatan Kecilku: Mentor atau Dementor???


               Sepekan terakhir  ini dunia maya dan media sosial (fb, twitter) agak dan masih ramai dengan reaksi atas pemberitaan sebuah media televisi swasta (Metro TV) yang menyatakan bahwa salah satu saluran tempat perekrutan “generasi muda teroris” adalah melalui program kegiatan ektrakurikuler di masjid sekolah. Tak perlu kita tanya ekskul apakah itu, kita pun sepakat berpikir apalagi ekskul yang pusatnya di masjid sekolah kalau bukan rohis (kerohanian Islam). Berarti pendapat itu sama halnya dengan menuduh bahwa rohis adalah tempat pengader teroris. Terkejut, tidak terima, “ itu tidak benar”, mungkin itu reaksi pertama. Berbagai analisis, tanggapan dan gerakan sebagai dukungan moral dalam rangka meluruskan mispersepsi ini pun muncul. Tidak perlu saya ulas ulang kiranya Belum lagi bila kita mengikuti juga peristiwa dan pemberitaan sebelumnya tentang pesantren yang juga tak kalah miris nasibnya: disalah pandangi dan dicap oleh sebagian masyarakat sebagai “sarang teroris”. Semoga anggapan saya salah ya,,kita kan masyarakat yang “melek teknologi”, cerdas dan bijak menanggapi informasi, baik yang positif maupun negatif, bisa membedakan mana informasi yang informatif dan mana yang tidak. Semoga.
            Bila kita ingat peristiwa WTC 9/11, di balik hantaman fitnah dan merebaknya Islamophobia setelahnya hingga kini, ada sisi positif yang juga layak kita syukuri yaitu semakin banyak warga Amerika dan negara barat lainnya yang tertarik belajar Islam dan bahkan kemudian masuk Islam, jumlah muslim baru bertambah terus setiap tahun. Lalu apa hubungannya dengan rohis dan mentoring? Mungkin ada yang bertanya demikian. Nah kembali lagi, bisa jadi sisi positif dari disematkannya stereotip rohis sebagai tempat pengader teroris adalah justru semakin besarnya animo siswa muslim untuk aktif bergabung dalam kegiatan rohis dan kian terbukanya sekolah untuk mengadakan kegiatan mentoring. Maka kelak dibutuhkan pula tenaga mentor yang siap membina dengan serius. Pertanyaannya, jika kelak memang dibutuhkan dan ada panggilan amanah menjadi mentor mampir pada diri, siapkah kita? Jangan sampai nih, saat banyak kecaman kita “ramai-ramai protes” tetapi saat sudah mendapat amanah, diberi kepercayaan, justru kita lalai membina, menelantarkan binaan, adik-adik menti kita. Ataukah jika ada tawaran dan panggilan: “Bro/Sist, Mas/Mbak, Ukhti/Akhi, bisa tidak mengisi kelompok mentoring di SMA X?”, justru akan ditolak dengan jawaban: “Sorry/maaf/‘afwan/ punten pisan,,gue/saya/ane sibuk banget nih, yang lain dulu deh”. Sangat disayangkan bila semangat-ghiroh positif yang menggebu dari adik-adik ini tidak tersalurkan dan dibina dengan baik. Gayung tak bersambut, jauh panggang dari asap. Bukan hal yang tidak mungkin juga bila nanti adik-adik kita ini menjadi “mangsa” dan sasaran kelompok “aliran nyleneh bin ngaco” lain, yang tak perlu saya sebut di sini. Tentu bukan hal yang kita ingin dan harapkan.
            Di sisi lainnya, terkait dengan masalah rohis tadi, justru menjadi bahan evaluasi juga bagi diri saya sendiri. Alhamdulillah, meski hanya sedikit dan mungkin sebentar, saya pernah mengalami rasanya menjadi mentor. Mendapat amanah sebagai mentor bagi saya adalah sebuah anugerah sekaligus tanggung jawab yang tidak enteng. Saya pun pernah menjadi menti (binaan mentor) saat mulai masuk dunia kampus (agak telat tapi tetap saya syukuri), dan saya pun pernah melewati masa remaja, dari masih anak-anak putih merah hingga abege putih biru dan putih abu-abu, sama seperti mereka. Maka menjadi mentor bagi saya adalah refleksi sekaligus praktik nyata berbagi kebaikan, berbagi indahnya ukhuwah, berbagi indahnya kebersamaan, belajar lebih mengenal dan lebih mencintai din ini. Sejenak mengenang jejak kebaikan para mentor saya terdahulu. Dari mereka saya belajar bahwa menjadi mentor yang baik itu butuh perjuangan dan proses tiada henti, belajar sabar dan tegar. Mentor yang baik idealnya  mampu menjadi qudwah, teladan bagi mentinya. Disiplin, tetapi juga penuh pengertian; dekat, hangat dan bersahabat dengan mentinya;  memahami seluk beluk dunia menti. Mentor yang baik menghargai waktu, bahwa ketika seseorang telah berkenan berbagi sebagian waktu untuk orang lain, maka sejatinya ia telah memberi sesuatu yg takkan kembali, sehingga tak boleh disiakan. Mentor yang baik berwawasan luas, mampu menghadirkan solusi atas permasalahan yang dihadapi menti; bukan sekadar menggurui dan menghakimi. Mentor yang baik memiliki target yang jelas, terencana dan terpaparkan dengan jelas sejak awal mentoring dimulai tentang apa yang ingin dicapai bersama adik-adik menti, sehingga mentoring tidak hanya sekadar pertemuan rutin yang tanpa ruh..giat di awal dan surut seiring waktu; dan masih banyak lagi jejak kebaikan lain yang terekam dan membekas di sanubari. 



             Ah...tiba-tiba ada rindu memusim dan seketika menggugurkan kenangan yang menghujan1 di lubuk hati saya, rindu pada adik-adik mantan menti dan adik-adik saya. Membayangkan wajah-wajah mereka yang ceria, penuh gelora, tetapi kadang pula suntuk setelah sepanjang hari berjibaku dengan bertumpuk tugas sekolah. Kini, sebagian dari mereka akan UTS, tak lama lagi UAS, UN, SNMPTN dan seterusnya. Ujian, ujian dan ujian. Pun begitu masih menyempatkan diri untuk mentoring, subhanallah walhamdulillah ya. Kemudian banyak sekali pertanyaan muncul dalam benak: adakah saya dahulu mentor yang baik bagi mereka ataukah sebaliknya, bukannya mentor tetapi dementor2?. Adakah saya sudah cukup amanah selama menjadi mentor mereka ataukah sebaliknya, meninggalkan kesan abai dan tak peduli terhadap mereka? Kapan terakhir kali menyapa dan menanyakan kabar mereka? Kapan terakhir kali mendengar cerita mereka? Seberapa jauh mengenal pribadi adik-adik? Seberapa mampu memahami dunia mereka? Astaghfirullahal’adziim..rasanya masih jauh sekali dari kriteria “mentor yang baik” apalagi “ideal”.
Maafkan...sungguh maafkan saya..
Harapan saya, semoga bila pun saya belum mampu menjadi mentor yang baik, tidak sampai menjadi dementor. Aamiin. Mari bersama kita bentengi diri, keluarga, sahabat dan adik-adik kita dari bahaya penyakit “sepilis” (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme). Salam ukhuwah, sepenuh cinta karenaNya.
Wallahua’lam, wallahul musta’an.
             
Catatan kaki:
1. Terisnpirasi oleh sajak Khrisna Pabichara
2. Dementor adalah tokoh jahat pada seri novel Harry Potter, penghisap harapan dan kebahagiaan.

Rabu, 05 September 2012

Belajar dari tanaman pisang

Sedang kangen mbah putriku Siti Chusnul Aslamijah nih ceritanya. Kami memanggil beliau : mbah As. Saya diasuh mbah sejak TK hingga SMA. Semasa masih tinggal dan diasuh mbah putri, aku biasa diajak mbah bersih-bersih pekarangan. Tanaman paling banyak dan yang tumbuh dengan baik di pekarangan mbah adalah pisang. Maka kegiatan bersih-bersih pekarangan ini tidak jauh-jauh dari "membersihkan" tanaman pisang dan gulma-gulma di sekitarnya. Mbah akan nyengget klaras, pelepah daun pisang yang sudah mengering dan layu. Aku bertugas memunguti dan mengumpulkan klaras yang sudah disengget tadi ke tempat sampah.

Rumpun tanaman pisang

bunga (jantung) pisang
tebak pisang apa?
Dari mbah aku belajar mengenali buah pisang beserta karakter tanamannya, belajar bahwa jika pisang sudah keluar montong atau bunganya maka harus disayat dan diobati agar tak rusak diserang hama penyakit dan buah yang berkembang bagus.Tapi sampai kini aku belum bisa membedakan jenis tanaman pisang apa kalau belum melihat buahnya. Pisang Kepok kuning, Raja, Koja, Ambon, mBandung, dan Kluthuk, setidaknya itulah jenis-jenis pisang yang ada di pekarangan mbah. Tiga yang pertama adalah primadonanya. Pisang mbah juga menjadi jujugan pedagang yang sedang mencari kulakan. Bagus-bagus, begitu kata mereka. Dari mbah pula aku belajar memanen pisang sehingga jika sewaktu-waktu sedang di pekarangan aku melihat ada pisang yang sudah suluh (tua, mulai ada yang matang menguning) atau sudah dimakan codot (kalong), aku bisa menebas dan memanen pisang tersebut. Mulai kelas tiga SD aku sudah bisa memanen pisang. Jika tandannya besar, baru aku melapor pada mbah atau paklik kalau ada pisang yang siap panen. Maklum, aku masih imut dan kyut sih..( narsis :p) khawatir nanti malah kebrukan (tertimpa) pisang. Selain memisahkan tandan buah pisang dari tanaman, aku juga belajar ngepeki, yaitu memisahkan sisir-sisir pisang dari tandannya. Selanjutnya, pisang ditiriskan dulu getahnya sebelum dimasukkan karung atau tumbu (tenggok) untuk diperam. Agar cepat matang, biasanya ditambahkan daun teresedhe dan atau daun sengon ke dalam tumpukan pisang. Ada cara lain yang lebih praktis tapi tidak alami yaitu memakai taburan atau buntalan karbid (kalsium carbida).


pisang kepok

pisang koja/susu/raja sereh

 
Pisang Ambon kuning

Ada hal menarik yang masih kuingat tentang falsafah tanaman pisang. "Wit gedhang kuwi durung mati yen durung awoh, saelek-eleke mesti awoh, wit gedhang uga durung mati yen durung manak (artinya: tanaman pisang tak kan mati kecuali bila sudah berbuah, seburuk apapun buahnya, ia juga tak akan mati bila belum menumbuhkan tunas-tunas baru)", kata mbah sambil menunjukkan tanaman pisang yang tak sehat dan merana tapi menyembul satu buahnya walau memang tak sempurna. Dengan kata lain, izinkan saya meringkas tabiat tanaman pisang tadi menjadi "pantang mati sebelum berbuah, pantang mati sebelum melahirkan generasi penerus". Subhanallah wabihamdik! Dari tanaman pisang kita belajar bahwa selayaknya kita hidup harus bermanfaat,,jangan sampai mati sebelum melakukan dan memberi kemanfaatan, sebaik dan sebanyak mungkin, bagi diri dan terutama sebanyak mungkin orang lain. Sebagai insan, makhluk pilihanNya, kita juga ingin melahirkan generasi penerus yang terus tumbuh berkembang dengan mewarisi nilai-nilai kehidupan, seperti tanaman pisang tadi. Insya Allah. Ini ceritaku, apa ceritamu?

Pages

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts